Bagaimana Rakyat Harus Bersikap
BAGAIMANA RAKYAT HARUS BERSIKAP?

Hubungan rakyat (yang dipimpin) dengan ra’in (pemimpin) semestinya berlangsung harmonis. Artinya masing-masing pihak memahami dan menyadari kedudukan, peran, dan tugasnya. Rakyat mempunyai hak dan kewajiban, demikian pula pemimpin. Tidak bijak dan bisa menimbulkan masalah serius bila salah satu, atau bahkan keduanya, hanya mementingkan haknya sementara kewajibannya terbengkalai.
Salah satu kewajiban rakyat adalah besikap taat dan patuh kepada pemimpin selama tidak menyelisihi ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Konsekuensi taat kepada ulil amri adalah tidak menyelisihinya dalam penentuan awal Ramadhan dan penetapan hari 'Idul Fitri atau 'Idul Adha. Menyelisihi hal tersebut dilarang, karena taat kepadanya adalah wajib dan husnuzhan (berbaik sangka) terhadapnya adalah suatu keharusan. Berikut kami sajikan penjelasan dari fatwa para ulama mengenai bagaimana rakyat harus bersikap dalam masalah tersebut.
Imam Ahmad berkata, “Hari 'Idul Adha dan 'Idul Fitri (dikembalikan penentuannya) kepada imam (pemerintah). Apabila imam berbuka (berfitri) maka berbukalah (berfitrilah) semua orang dan apabila imam berkurban maka berkurbanlah semua orang. Demikian juga shalat bersamanya.”

Tanya:  (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya) “Apakah harus mengikuti pemerintah apabila sebagian penduduk kota sudah melihat hilal Dzulhijjah -yakni telah masuk tanggal 10-, tetapi pemerintah kota menolaknya karena masih beranggapan tanggal 9.”
Jawab: “Benar, mereka harus berpuasa pada hari itu, sekalipun hakikatnya hari tersebut adalah 10 Dzulhijjah. Itu jika ru’yah mereka memang benar. Di dalam al-Sunan ( Sunan Abi Dawud no. 2324, Sunan al-Tirmidzi no. 697, dan Sunan Ibni Majah no. 1660 dengan redaksi hampir serupa. Lihat Shahih al-Jami’ no. 3869.), Abu Hurairah menuturkan dari Nabi  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تَفْطُرُوْنَ، وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian ialah hari ketika kalian semua menyembelih.”
'Aisyah رضي الله عنها menceritakan bahwa Rasulullah  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

اَلْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ

“Berbuka (Idul Fitri) itu ketika semua manusia berbuka. Dan berkurban (Idul Adha) itu ketika semua orang berkurban” ( Sunan al-Tirmidzi no 802, Al-Baihaqi IV/252 dan Al-Daruquthni II/225. Lihat Shahih al-Jami’ no. 4287.)

Hal ini berlaku untuk semua imam (pemimpin) kaum muslimin.” ( Majmu’ al-Fatawa, XXV/202)
Tanya: (Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya) “Bagaimana tentang selisih jumlah hari yang muncul akibat dari seseorang memulai puasa di Saudi tetapi menyelesaikannya di negrinya, Asia.”
Jawab: “Jika berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya kemudian sisanya berpuasa di negaranya, maka berbukalah bersama penduduk negrinya dan berhari rayalah bersama mereka, meskipun lebih dari tiga puluh hari. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تَفْطُرُوْنَ

“Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbukan adalah ketika semua kalian berbuka.”

Akan tetapi, jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan  tidak akan kurang dari 29 hari. WAllahu waliyut taufiq.” ( Fatawa Ramadhan, I/45.)
Tanya: (Syaikh Bin Baz pernah ditanya) “Apakah mathla’ (posisi hilal) di satu negara mewakili negara lain atau tidak?”
Jawab: “Setiap Muslim hendaklah berpuasa bersama dengan (penduduk) negara tempat ia tinggal, demikian pula saat berbuka, sesuai sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih.” Wabillahi taufiq.” ( Fatawa Ramadhan, I/12.)
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan ketika menjawab pertanyaan yang sama berkata, “Setiap Muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal, agar tidak berpusa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal, maka dalam hal ini tidak mengapa mereka berpuasa bersama kerajaan Arab Saudi.” ( Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, III/124.)
Tanya: (Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta pernah ditanya) “Bagaimana tentang perselisihan hari raya di antara kaum muslimin yang dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan yaitu hari 'Id atau berbuka pada hari yang diwajibkan? Bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?”
Jawab : “Para ulama sepakat bahwa mathla’ hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indra dan akal. Akan tetapi mereka berselisih apakah dijadikan patokan atau tidak dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. Ada dua pendapat dalam hal ini :
Pertama, di antara imam ahli fikih ada yang berpendapat bahwa berbedanya mathla’ berlaku dalam penentuan awal puasa dan penghabisannya.
Kedua, tidak menjadikannya mathla’ sebagai patokan.
Setiap kelompok berdalil dengan al-Kitab, al-Sunnah serta Qiyas. Dan kadang-kadang kedua kelompok berdalil dengan nash yang sama, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil). Seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah:185)

قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.’” (Al-Baqarah:189)

Sabda Nabi  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya.” ( shahih al-Bukhari no. 1776 dan shahih Muslim no. 1081 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu".)
Itu semua karena perbedaan dalam memahami nash dan dalam mengambil istidlal.
Kesimpulannya, permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama baik yang terdahulu maupun yang sekarang pun berselisih. Tidak mengapa bagi penduduk negri manapun jika tidak melihat hilal, maka pada malam ketiga puluh mengikuti mathla yang bukan di negerinya, jika kiranya (negeri yang lain) benar-benar telah melihatnya.
Jika sesama mereka masih berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya jika pemerintah sesama Muslim. Karena keputusan pemerintah untuk mengambil salah satu dari dua pendapat akan menyelesaikan perselisihan. Umat wajib mengamalkannya.
Jika pemerintahannya tidak Muslim, maka mereka mengambil pendapat majlis Islamic Center yang ada di negara mereka untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat 'Id.
Semoga Allah memberi taufiq dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya. (Tertanda, wakil ketua: Abdur Razzaq Afifi, anggota, Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani’).”  (Dinukil dari Fatawa Ramadhan, I/117.)

Disarikan oleh al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar